Bulan September tahun lalu, bisa dibilang saya hampir putus asa mencari some things to work on, to keep me sane.
Empat tahun berakrab ria dengan perkuliahan dan segala aktivitas non-akademik dan dinamikanya yang membuat kami para mahasiswa menjadi task-juggler dan penggila kesibukan, kemudian tiba-tiba menjadi completely pengangguran selama tiga bulan mendorong saya pada salah satu titik terendah di tahun tersebut. I have been failing many times in my life, but not that way. That was different, and hurtful from every possible view.
Sebagian teman-teman terdekat saya sudah bekerja di kantor, sebagian mengerjakan proyek dosen, sebagian lagi memulai bisnis yang menyenangkan, ada pula yang sudah memulai Master degree. Pada akhirnya, meski sedikit terlambat, saya (mencoba) bangun dan memutuskan untuk mengerjakan hal yang saya sukai. Then, @dhaniaalbani was first established.
I got to work on some arts I’ve never had any chance to do due to the lack of time, people appreciate my work and they want to buy them for real, dan rasanya… priceless.
Bersamaan dengan itu, supervisor saya menawarkan untuk mengerjakan dua proyeknya. Bebannya tidak terlalu banyak, pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa saya kerjakan di rumah dan hanya butuh untuk seminggu sekali bertemu di kantor untuk laporan mingguan. Dhania Albani bisa tetap berjalan, dan akhirnya saya pun bisa menghasilkan uang bukan hanya dari hobi saya tapi juga keilmuan saya. Alhamdulillah.
Berbeda dengan laboratorium-laboratorium lain di prodi yang menggaji fresh grad secara perbulan tanpa mempertimbangkan jumlah proyek yang didapat, supervisor saya yang dermawan ternyata membayar per jumlah proyek. Nominal bulanan tersebut tidak jauh berbeda dari pemasukan seorang wellsite geologist di perusahaan multinasional, jadi meskipun proyek tersebut berlangsung selama kurang dari satu semester, saya tetap bisa berinvestasi lebih banyak untuk proyek penunjang kebahagiaan saya, Dhania Albani. Dan cita-cita saya yang belum kesampaian untuk bekerja di EP company pada akhirnya ditukar dengan sesuatu yang bahkan jauh lebih baik.
Low-paced life ternyata baik untuk saya. Waktu-waktu seperti itu membuat saya jadi memiliki waktu luang untuk berpikir tentang apa yang betul-betul saya inginkan untuk kehidupan saya, orang-orang di sekitar saya, dan dunia luar yang ternyata membutuhkan saya dan kita semua. Dari pemikiran kecil itulah perantauan saya akan dimulai dalam beberapa bulan, untuk memulai kehidupan yang completely baru.
Dulu saya berpikir ingin segera lulus karena ingin segera memulai kehidupan baru dimana segala halnya jauh dari latar belakang dan hidup yang sudah saya jalani. To restart a completely new life, in a new place, with a new pursuit.
Well, you need to be really careful of what you wished for, for it might come true in some unexpected ways.
And here it goes, I’ll be nearly 10,000 miles away from home in few months. Having no Indonesians that I knew around, no adults to protect me, no possible way to using Bahasa for surviving the days.
You might never hear the word “Edmonton” before, because neither do I before months ago when I completely wanted to change my destination from that lifetime-pursued Norway and its Scandinavian delicacy. Nevertheless, that is the name of a city which is going to be my second home for the next couple of years.
The point is, we truly never know. The lucky one isn’t probably the happiest one. The one looking like having the least idealized life might actually keep some priceless treasure. White collars or blue collars, black or white skins—they’re just all colours. Absolute bliss lies far beyond those measurable materials.
We might be hit by tons of bad news today or tomorrow or anytime soon, but life has indeed always been a sine curve, it is no new news. Everyone gets hurt, but the ones with bigger hearts don’t choose to suffer. The fortunate ones are just the ones who are so talented at hiding their flaws.
We will never be sure about which direction we’ll be sailing onto, but we can always be sure where it’s going to end. And we already even know the answer by now, don’t we?