Defisiensi Disiplin

Defisiensi Disiplin

Akhir tahun ini, umur saya akan menginjak angka 28. Artinya, lebih dekat ke kepala tiga dibanding 25 – yang biasanya adalah batas usia untuk masih pantas disebut young adult. Agak aneh, mengingat kalau saya bertemu dengan orang-orang berusia dua puluhan awal saya masih suka berpikir, “Oh, masih satu generasi lah ya kita.” Hingga saya sadari, adik saya sendiri usianya sudah 21 tahun saat ini, dan kami bahkan lahir di milenium yang berbeda! Bahkan mungkin saya adalah salah satu acuan baginya saat memikirkan contoh figur orang dewasa. Yang dianggap dan diharap sudah bisa memegang penuh kontrol akan hidup masing-masing beserta segala tanggung jawab dan konsekuensinya.

Padahal, salah satu yang paling sulit dari menjadi dewasa bagi saya justru adalah mengelola self-control. Tahun ini sudah tahun keenam saya hidup tanpa rutinitas dan jadwal yang ditentukan oleh sistem, namun rasanya saya masih tergopoh-gopoh dalam memegang kemudinya.

Read More

Tentang perjalanan spiritual

Tentang perjalanan spiritual

(18:103) Say, (O Muhammad): “Shall We tell you who will be the greatest losers in respect of their works? (18:104) It will be those whose effort went astray in the life of the world and who believe nevertheless that they are doing good.

Berhubung udah lama gak posting dalam bahasa ibu sendiri, jadi kali ini saya mau coba ya bercerita pakai Bahasa Indonesia. Selain itu juga karena mungkin kontennya akan lebih relevan buat Indonesian readers sih, hehe. (Sebetulnya bakalan banyak bilingual mode-nya deng karena kagok cuy kalo every single word diterjemahin verbatim. Monmaap in advance yak.)

Tulisan ini diketik pukul 6:39 AM. Ceritanya saya baru aja balik dari itikaf pertama selama di Kanada sini. Ini Ramadan kedua saya disini sih, cuman tahun lalu ada aja deh tantangannya buat meniatkan diri untuk itikaf. Jangankan itikaf, sejujurnya Ramadan taun lalu aja gak begitu berasa ibadahnya buat saya. Jujur, cuman ibadah default kayak hari biasa (shalat 5 waktu, itu juga kadang–atau sering?–pake mepet-mepet batas jam, ngaji juga boro-boro ngejar khatam) ditambah puasa dan bayar zakat fitrah. Udah. Tapi tahun ini, terutama setelah melewati bulan-bulan setelah Ramadan 2017 tersebut berlalu, alhamdulillah saya merasa ada peningkatan sih. Tapi, merasa sedih banget sebetulnya.

Read More

Why choosing Emirates was the best thing happened to me in 2016 – part III: Toronto

Why choosing Emirates was the best thing happened to me in 2016 – part III: Toronto

Keesokan paginya, semua awalnya terlihat berjalan lancar. Karena antisipasi berlebihan, saya tiba di bandara 3 jam sebelumnya, gate pun belum dibuka. Sempat telepon Adhi dulu dan meyakinkan dia untuk jangan cerita siapa-siapa (meski akhirnya saya tulis juga di blog ini, lol). Beberapa jam kemudian saya sudah berada di pesawat menuju Toronto.

Kemudian saya menyadari, there could be another challenge. Karena di Toronto saya harus membuat study permit sebelum lanjut ke connecting flight, dan saat itu waktu transit saya kurang dari 90 menit sebelum pesawat menuju Edmonton berangkat. And it would be utterly stupid if I miss another flight during this trip.

Pesawat pun landing di Toronto, dan saya sudah siapkan semangat terambis saya untuk menyerbu barisan manusia di airport demi mencapai antrian sedepan-depannya di Canada Borders and Immigration. Dan benar saja dugaan saya, antriannya sangat panjang hingga saya betul-betul panik apakah saya bisa tepat waktu mengejar flight selanjutnya.

Setelah menunggu pergerakan yang sangat memakan waktu di antrian tersebut (dan dua kali antri pula) dan study permit saya pun terbit setelah interview yang bikin gemas karena interviewer saya kelewat santai sementara saya gak berani minta buru-buru karena takut study permit saya malah gak terbit, saya langsung lari sekencang-kencangnya menuju gate. Dan ternyata… jauh. Banget. Parah. Kacau. Saya gak ingat mana yang lebih capek, saat lari-lari di LHR mengejar pesawat menuju Toronto yang akhirnya saya ketinggalan, atau pada saat itu. Betul-betul gak ada detik yang gak saya habiskan dengan berlari, saya cuma jalan karena memang mesti antri di security check seperti normalnya. Saya masih ingat betapa ingin nangisnya saat itu karena saya mengecek jam tangan saya setiap menit, menyadari bahwa pasti kalaupun saya beruntung saya akan jadi the last passenger on board. Di escalator dan di manapun saya terus lari dengan kecepatan dan durasi yang jauh melebihi tes lari jaman TPB di ITB (kebayang kan capeknya!) sampai akhirnya, kurang dari lima menit sebelum closing gate saya sampai di gate tersebut.

I was indeed the very last passenger to board. Kurang dari satu menit setelah saya duduk, pesawat pun take off.

MasyaAllah.

Saat itu hanya rasa syukur yang ada. Akhirnya saya di penerbangan final menuju Edmonton, menuju tempat yang sudah saya nanti-nantikan sejak berbulan-bulan lalu, gak harus lagi merasa deg-degan sepanjang penerbangan.

And it was worth it. I liked Edmonton from the very first time, I had Tim Horton’s for the very first time (and got one free double-double somehow! Yay), I knew I’m going to love being here for the upcoming two years.

Meskipun dua bagasi saya ternyata nyasar, dan saya yakin sepenuhnya itu masih tertinggal di London saat transisi dari Emirates ke Air Canada. Betul-betul sudah jatuh tertimpa tangga. But well, just a reason to shop new clothings, lol.

Why choosing Emirates was the best thing happened to me in 2016 – part II: London

Why choosing Emirates was the best thing happened to me in 2016 – part II: London

Selama di penerbangan Dubai-London, saya berkali-kali bertanya pada tiga pramugari berbeda karena gak satupun dari mereka betul-betul mengerti apa yang harus dilakukan. All they said was, “It’s okay, everything’s going to be just fine.” How cliché.

Kemudian tiba lah di London. Dengan sigapnya saya langsung buka kabin, keluar lewat pintu di belakang saya melawan antrian, dan langsung melesat dari pintu exit ke bandara dengan kondisi pundak yang serasa hampir copot saking berat dan besarnya hand luggage saya.

I only had less than 90 minutes before my next flight closes the gate.

Saya pun mencoba mencari Ground Staff karena para pramugari tadi bilang, those are the people I need to help me out. Namun sialnya, saya dioper-oper dari satu staf ke yang lain. Saya sudah jalan menuju Flight Connection meskipun I swear semua orang yang baru turun dari pesawat langsung walking straight menuju Baggage Claim (yang jelas-jelas bikin saya panic karena saya satu-satunya  orang yang ada di lorong menuju Flight Connection!). Karena gak yakin, saya bertanya pada staf pertama yang saya temui di setengah jalan menuju Flight Connection. Dan dia bilang, “You should go back to Emirates in Terminal 3.”

Like… what? Saya langsung lari ke arah berlawanan, kembali menuju Terminal 3. Dan somehow, saya agak lupa kejadiannya karena saat itu saya luar biasa terburu-buru, tapi saya ingat betul bahwa ujung-ujungnya saya bolak-balik sebanyak dua kali antara Terminal 2 dan 3.

Terakhir kali di Terminal 3, beruntung saya bertemu seorang pramugari Emirates yang super-duper baik dan nampak khawatir dengan saya, kemudian dia bilang, “No, you go straight to Air Canada.” Yang berarti dari tadi saya sudah benar! Saat itu saya sudah menghabiskan 30 menit waktu berharga saya karena I swear itu adalah jauh banget kacau.

In less than an hour, my flight to Toronto will be taking off.

Read More

Why choosing Emirates was the best thing happened to me in 2016 – part I: Dubai

Why choosing Emirates was the best thing happened to me in 2016 – part I: Dubai

Tanggal 17 Agustus 2016 pukul 00.40 kemarin saya terbang dari Jakarta (CGK) untuk mencapai Edmonton (YEG) dimana saya akan melanjutkan studi Master selama dua tahun ke depan. Sesuai itinerary, saya akan transit di Dubai (DXB) dan Seattle karena perjalanan ke Edmonton memang tidak ada direct flight dari Jakarta, dan sesedikitnya harus transit sebanyak dua kali. Pesawat yang saya gunakan dari Jakarta sampai Edmonton seluruhnya adalah Emirates, meskipun untuk rute Seattle-Edmonton akan dioperasikan oleh Alaska Airlines.

Saya sampai Dubai pada tanggal yang sama, sekitar pukul lima pagi. Penerbangan ke Seattle dengan maskapai yang sama akan berangkat pukul 09.35. Maka pada saat open gate sekitar pukul 08.30, saya segera mengantri di gate B29 di Terminal 3 bersama penumpang-penumpang lainnya.

Saat pengecekan paspor dan visa, officer Emirates yang menjaga di gate bertanya, “Where’s your USA visa?” dan saya dengan kalem (dan begonya) menjawab, “I don’t have one, my final destination is Canada and I’ll only have a two-hour transit in Seattle without leaving the airport.”

Dia bertanya lagi, masih sambil membolak-balik paspor saya yang karena baru diperpanjang maka isinya memang hanya visa Kanada. “But do you have any other USA documentation?”

Dengan masih polosnya lagi saya menjawab, “No… I don’t think I’ll need one because I’m not even going to leave the airport.”

Disitu saya mulai sedikit khawatir. Dan mulai terpikir: do I even need a US visa just to have a quick transit at the airport?

Kemudian officer tersebut nampak mengecek laptop di bawah mejanya, dan dua menit kemudian dia bilang,

“Well you do need a visa to enter the US, at least a Transit Visa. Even just to fly over the US, you’ll need one. I’m sorry but we cannot let you on board.”

DANG.

Dunia serasa meredup di sekeliling saya.

Read More

Silver linings (and a chance of golden fortune) – Part II

Silver linings (and a chance of golden fortune) – Part II

Bulan September tahun lalu, bisa dibilang saya hampir putus asa mencari some things to work on, to keep me sane.

Empat tahun berakrab ria dengan perkuliahan dan segala aktivitas non-akademik dan dinamikanya yang membuat kami para mahasiswa menjadi task-juggler dan penggila kesibukan, kemudian tiba-tiba menjadi completely pengangguran selama tiga bulan mendorong saya pada salah satu titik terendah di tahun tersebut. I have been failing many times in my life, but not that way. That was different, and hurtful from every possible view.

Sebagian teman-teman terdekat saya sudah bekerja di kantor, sebagian mengerjakan proyek dosen, sebagian lagi memulai bisnis yang menyenangkan, ada pula yang sudah memulai Master degree. Pada akhirnya, meski sedikit terlambat, saya (mencoba) bangun dan memutuskan untuk mengerjakan hal yang saya sukai. Then, @dhaniaalbani was first established.

I got to work on some arts I’ve never had any chance to do due to the lack of time, people appreciate my work and they want to buy them for real, dan rasanya… priceless.

Bersamaan dengan itu, supervisor saya menawarkan untuk mengerjakan dua proyeknya. Bebannya tidak terlalu banyak, pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa saya kerjakan di rumah dan hanya butuh untuk seminggu sekali bertemu di kantor untuk laporan mingguan. Dhania Albani bisa tetap berjalan, dan akhirnya saya pun bisa menghasilkan uang bukan hanya dari hobi saya tapi juga keilmuan saya. Alhamdulillah.

Berbeda dengan laboratorium-laboratorium lain di prodi yang menggaji fresh grad secara perbulan tanpa mempertimbangkan jumlah proyek yang didapat, supervisor saya yang dermawan ternyata membayar per jumlah proyek. Nominal bulanan tersebut tidak jauh berbeda dari pemasukan seorang wellsite geologist di perusahaan multinasional, jadi meskipun proyek tersebut berlangsung selama kurang dari satu semester, saya tetap bisa berinvestasi lebih banyak untuk proyek penunjang kebahagiaan saya, Dhania Albani. Dan cita-cita saya yang belum kesampaian untuk bekerja di EP company pada akhirnya ditukar dengan sesuatu yang bahkan jauh lebih baik.

Low-paced life ternyata baik untuk saya. Waktu-waktu seperti itu membuat saya jadi memiliki waktu luang untuk berpikir tentang apa yang betul-betul saya inginkan untuk kehidupan saya, orang-orang di sekitar saya, dan dunia luar yang ternyata membutuhkan saya dan kita semua. Dari pemikiran kecil itulah perantauan saya akan dimulai dalam beberapa bulan, untuk memulai kehidupan yang completely baru.

Dulu saya berpikir ingin segera lulus karena ingin segera memulai kehidupan baru dimana segala halnya jauh dari latar belakang dan hidup yang sudah saya jalani. To restart a completely new life, in a new place, with a new pursuit.

Well, you need to be really careful of what you wished for, for it might come true in some unexpected ways.

And here it goes, I’ll be nearly 10,000 miles away from home in few months. Having no Indonesians that I knew around, no adults to protect me, no possible way to using Bahasa for surviving the days.


You might never hear the word “Edmonton” before, because neither do I before months ago when I completely wanted to change my destination from that lifetime-pursued Norway and its Scandinavian delicacy. Nevertheless, that is the name of a city which is going to be my second home for the next couple of years.

The point is, we truly never know. The lucky one isn’t probably the happiest one. The one looking like having the least idealized life might actually keep some priceless treasure. White collars or blue collars, black or white skins—they’re just all colours. Absolute bliss lies far beyond those measurable materials.

We might be hit by tons of bad news today or tomorrow or anytime soon, but life has indeed always been a sine curve, it is no new news. Everyone gets hurt, but the ones with bigger hearts don’t choose to suffer. The fortunate ones are just the ones who are so talented at hiding their flaws.

We will never be sure about which direction we’ll be sailing onto, but we can always be sure where it’s going to end. And we already even know the answer by now, don’t we?